Minggu, 01 Januari 2012

PAHAM

  Oleh : Eileen Rachman & Syilvina Savitri
Dikutip Dari : Kompas Klasika. Sabtu, 10 Desember 2011
Add caption
 Paham yang dimaksud di sini bukan hanya pengetahuan yang sifatnya “Instant Knowledge” yang hanya diperoleh melalui facebook ataupun twitter yang dikemas dalam tulisan yang terbatas hanya beberapa karakter, celakanya pengetahuan berupa “Instant Knowledge” inilah yang bagi beberapa orang diandalkan sebagai sumber pemahamannya terhadap sesuatu. Pertanyaannya sudah cukupkah pengetahuan berkembang dengan medium seperti ini ? Apakah kita memang tidak memerlukan fokus, pendalaman latar belakang suatu gejala, untuk memahami sesuatu dengan benar dan tepat ?


Pemahaman adalah kapabilitas individu untuk memperoleh pengertian dari sesuatu yang sedang dipelajari. Dengan pengetahuan yang sepotong-sepotong atau pemahaman yang setengah-setengah, kita kerap melihat orang bisa bertindak seolah diinya sangat pakar dan kemudian memberi komentar ini itu dengan sangat fasih. Pemaham yang mengambang sebenarnya sangat berbahaya, terutama bila isunya kritikal, banyak pihak terlibat, dan efeknya bisa membuat orang salah bertindak. Ini sebabnya, kita juga sering mendengarkan komentar-komentar orang yang dilontarkan berbalas-balasan, sehingga sering kali emosilah yang lebih dominan, ketimbang materi yang dibicarakan. Seberapa pahamkah kita dengan apa yang menjadi sasaran kerja kita? Seberapa besar kita meluangkan waktu untuk menjadi lebih ahli dan memahami seluk beluk permasalahan seputar peofesi dan pekerjaan kita? Tanpa pemahaman, sudah jelas kita tidak bisa bergerak maju.

Menyetel radar dan mengatur “kewaspadaan”
Dalam rencana perubahan di suatu organisasi, konsultan yang mempresentasikan menghadapi muka-muka kosong dari peserta rapat. Selain rencana perubahan memang rumit, sang konsultan juga tidak berusaha mengecek apakah peserta rapat paham, tidak paham, atau tidak mau paham dengan apa yang dipresentasikan. Disadari ataupun tidak, dalam berkomunikasi, kita tidak kerap memedulikan proses pemahaman lawan bicara terhadap point yang kita kemukakan atau bahkan pemahaman kita sendiri terhadap materi yang sedang kita bicarakan. Kalau tidak mengundang argumentasi, respons, atau elaborasi dan eksperimen, pemahaman kita pun hanyalah monoton.

Pemahaman adalah hasil kerja yang kognitif otak yang sudah lebih canggih daripada sekedar mengindra, memirsa, dan membaca karena sudah melibatkan proses persepsi, membuat atribut, mengecek dengan memori, membayangkan, menggolongkan, dan menyimpan informasi di dalam kelompok pengetahuan yang ada di dalam memori sebelumnya. Kita perlu sadari bahwa cara kerja otak kita ibarat lampu yang bisa disetel dengan dimmer. Kita bisa membuatnya terang sekali, tetapi juga bisa menyetelnya untuk bersinar redup-redup saja. Kita bisa memikirkan suatu informasi ibarat orang yang sedang meriset yaitu mengaktifkan bagian otak untuk mempertimbangkan bagian otak untuk mempertimbangkan, membandingkan, menilai, merefleksikan, dan mengendapkan. Keadaan mentalpun bisa kita pasang dalam keadaan waspada dengan “WATT” (Willingness and Ability to Think) tinggi atau dalam keadaan setengah aktif.

Dengan begitu banyaknya agenda dan informasi yang diterima, kita memang perlu dan harus dan harus bisa memilih, apakah mau berpikir keras, biasa-biasa, ringan bahkan mengambang, Untuk menjadi profesional yang canggih, kitalah yang harus memasang radar untuk menemukan dan mengolah informasi yang bisa membantu memperoleh pemahaman yang mendalam di area expertise kita. Sebaliknya, informasi “sampah” kita sortir sehingga tidak membebani proses kognitif kita. Seperti halnya kita menyortit surat penting atau brosur-brosur produk yang tidak penting.

“Knowing is not enough”
Pada saat perubahan sikap, kebiasaan dan tingkah laku sangat diperlukan, maka mengangguk-angguk tanda mengerti saja sungguh tidak cukup. Pemahaman bahwa minyak jelantah tidak bisa dicerna dan sangat berbahaya bagi tubuh sudah diketahui banyak orang. Namun, beberapa persenkah orang yang menghentikan jajan gorengan? Kita sadar organisasi harus diubah, bahkan tahu tidak ada pilihan untuk berubah. Namun, berapa persen di antara kita mulai bangkit, mengubah perilaku, dan belajar hal baru ?

Paham saja sungguh tidak cukup, apalagi bila pemahaman terus ditindaklanjuti dengan keraguan, ketidakpercayaan diri, dan bolak-balik saja antara hitungan untung-rugi untuk melangkah lebih jauh, kita perlu mempertanyakan suatu informasi, mengolahnya, memikirkan penerapannya, melengkapinya dengan eksperimen, sampai menindaklanjutinya dengan perubahan. Hanya dengan cara inilah pemahaman bisa menjadi nilai tambah kognisi dan perbuatan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar